Kamis, 23 Oktober 2008

GREY AREA



Apa bedanya Robin Hood dengan Pitung ?
Robin Hood adalah tokoh dari Hutan Sherwood, Inggris. Dia adalah tokoh hero yang kemudian merampok orang-orang kaya, dan hasil rampasannya dibagikan kepada orang-orang miskin.
Lalu Pitung ? Dia adalah tokoh legenda betawi yang berasal dari kampung Rawa Belong, Jakarta Barat. Dia pun jagoan yang merampok orang-orang kaya, yang kemudian hasilnya dibagikan ke orang miskin.
Kalau begitu mereka serupa tapi tak beda ! Ya, hanya letak geografis dan latar belakang budaya yang membedakan mereka. Intinya mereka adalah sosok pahlawan penegak kebenaran, yang selalu dirindukan oleh masyarakatnya.
Tapi, apakah tindakan perampokan mereka dapat dibenarkan ?
Untuk menjawabnya, mari kita tengok kisah Sunan Kalijaga berikut...
Sunan Kalijaga sebelum menjadi ulama ternyata memiliki kelakuan yang sama dengan Robin Hood dan Pitung. Dalam sebuah kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang di jalankan oleh ayahnya, ia melakukan sebuah pemberontakan. Ia berani melawan kekuasaan bapaknya hanya demi mensejahterakan rakyatnya. Singkat cerita ketika di dalam pengembaraannya, setelah ia diusir oleh ayahandanya karena terbukti mengganggu ketertiban, Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.
Dan apa petuah yang diberikan oleh Sang Sunan ? menurut beliau, kelakuan Kalijaga adalah salah ! untuk itulah ia menjadi sunan Kalijaga, yaitu ia harus menebus kesalahannya untuk menjadi penjaga tongkat di pinggir sungai, ia harus menjaga kali selama bertahun-tahun...suatu bentuk hukuman dan pelajaran yang diberikan oleh Sunan Gunung Jati apabila Sunan Kalijaga ingin menjadi muridnya.....
Apa pelajaran yang bisa kita petik ?
Jaman sekarang rupanya banyak orang yang menjadi Robin Hood ataupun Pitung, tapi sedikit sekali yang menjadi Sunan Kalijaga. Artinya, banyak sekali saat ini orang yang mencari pembenaran atas tindakan perampokan yang dilakukannya, baik secara kecil-kecilan atau besar-besaran.
Permasalahannya adalah bukan nilainya, tapi lebih dari itu ! Sunan Kalijaga menyadari betul apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar. Untuk itulah ia bertobat dan berguru kepada Sunan Gunung Jati, hingga akhirnya ia menjadi salah seorang tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Banyak dari kita terbius dengan klasifikasi dosa. Ada dosa kecil, sedang, dan besar. Bagi insan yang terjebak ia akan larut dalam gelimang dosa. Padahal sekali lagi, ini bukan masalah nilai ! Tapi lebih kepada bentuknya. Meskipun yang kita lakukan itu dianggap dosa kecil, tetaplah dosa namanya. Anggapan kita selama ini kalau dosa besar siksanya lebih lama dan banyak di neraka...Lalu kalau dosa kecil apakah tidak disiksa ? Tetap saudaraku !
QS. Al Zalzalah (99) : 7 – 8
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.”

Tafsir menurut Kitab Jalalain :
(Maka barang siapa yang mengerjakan seberat zarah) atau seberat semut yang paling kecil (kebaikan, niscaya dia akan melihatnya) melihat pahalanya. (Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihatnya pula) artinya dia pasti akan merasakan balasannya.
Memang banyak di kehidupan kita yang berada di wilayah Grey Area atau dalam bahasa agamanya dinamakan syubhat. Sesuatu yang tidak hitam dan tidak juga putih. Dalam ilmu tentang warna apabila warna hitam dicampur dengan warna putih jadilah dia abu-abu. Jadi boleh dikatakan syubhat itu adalah sebuah perkara di antara halal dan haram, diantara pahala dan dosa, atau bahkan pahala yang bercampur dengan dosa.
Dan Nabi menganjurkan manakala kita ragu terhadap suatu perkara maka cara yang terbaik adalah meninggalkannya. Jadi diluar benar tidaknya kisah diatas intinya hanyalah mau menggambarkan bahwa merampok untuk kebaikan adalah sesuatu yang lebih baik ditinggalkan, bahkan sebenarnya wajib ditinggalkan !
Nah itu yang merampok untuk kebaikan. Lalu bagaimana bila korupsi ?
Mungkin banyak orang yang enggan dituduh korupsi. Tapi sadarkah kita bahwa kita pernah me-mark up anggaran dan memanipulasi data-data ? Hal seperti itu sudah bukan barang aneh bukan ?
Suap-menyuap, atau istilah under table adalah sebuah perkara yang di-“amini” oleh beberapa kalangan. Para birokrat yang bertugas pun senantiasa mengenakan topeng berwajah manis, sedang dibalik topeng itulah wajah asli yang penuh dengan berjuta kemunafikan tersimpan.
Tengoklah kasus Urip-arthalyta, kasus Al amin, Kasus Bulyan Royan. Mereka bukanlah orang-orang yang buta hukum. Begitupun kasus bea cukai dan para bupati dan gubernur di beberapa daerah. Mereka adalah orang-orang yang harusnya berjalan diatas hukum, memutuskan perkara dengan hukum, bukannya malah mem”beraki” hukum, yang notabene adalah mem”beraki” dirinya sendiri.
Lalu bagaimanakah kita dapat mendeteksi keberadaan uang halal ?
Pertama, tanyalah pada hati nurani yang terdalam. Hati nurani itu biasanya selalu berbisik paling awal, karena setelah itu adalah bisikan-bisikan setan. Hati nurani adalah hati yang ber”cahaya” ilahi, maka sangat kecil kalau mau dikata tidak mungkin, untuk melakukan sebuah tindakan yang melanggar syariat. Manakala di hati timbul keraguan itulah grey area yang harus kita tinggalkan, segera tentukan hitam atau putih !
Kedua, segera tengoklah ajaran agama. Jangan takut dibilang ustadz atau pendeta bagi yang ingin memperdalam agamanya. Atau suatu tindakan pembenaran yang selalu dikatakan orang, ”gue nggak mau munafik” ! Tidak sekali lagi tidak ! Setiap umat beragama dijamin oleh negara di dalam menjalankan setiap keyakinannya (UUD Pasal 29).
Lalu munafik ? tahukah anda arti munafik ? makna secara umumnya adalah orang yang pura-pura beriman. Jadi kalau anda tidak mau dikatakan munafik ya, jangan setengah-setengah dalam beragama dan berkubang terus di grey area ! Jadi, manakala kita melakukan hal benar ditengah rimba belantara dosa, itulah sebuah keimanan yang murni !
QS. Al Baqarah (2) : 208
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Atau dalam QS. An Nisaa (4) : 142-143 berikut :

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”

Jelas bukan standarisasi kemunafikan yang Allah sampaikan ? Jadi manakala kita ragu dan bahkan berkubang dalam grey area itulah kemunafikan, bukannya seperti anggapan kita selama ini.
Manakala tombol nurani kita tidak berjalan secara otomatis maka sebagai pendeteksi yang paling akurat adalah dengan mengecek ibadah harian kita, sholat. Bila sholat kita terasa malas, berat dan enggan, bisa dipastikan kita sudah terjangkiti virus munafik. Begitupun dikeluarga kita, manakala diantara suami isteri sering ribut, atau bahkan terlalu ”damai” sampai-sampai maksiat berjamaah, atau anak jadi susah diatur dan cenderung menjadi pemberontak, berhati-hatilah jangan-jangan kita telah menafkahi mereka dengan cara-cara yang tidak halal..
Jadi mulai sekarang, mari kita ber-fastabiqul khairat, berlomba-lomba di dalam kebajikan. Bukannya fastabiqul munkarat, berlomba di dalam kemungkaran. Saling ber-arogansi dan paling merasa benar di dalam mendapatkan bonus-bonus yang ternyata bila ditelusuri jejaknya jauh sekali dari keberkahan. Biarlah gaji kita kecil, asalkan keberkahan ada di dalamnya. Kalau tokh pun mengharap bonus, layaknya adalah bonus yang didapat berdasarkan prestasi kerja kita. Manakala ada bonus namun tidak sesuai prestasi kerja kita, maka cek dan tanya ke hati nurani, bila hati terasa tumpul, bertanyalah kepada orang-orang yang menguasai ilmu agama.
Mari kampanyekan dan bersloganlah, minimal di dalam diri : Waspada Grey Area ! Hati-hati begitu banyak Grey Area disekitar kita !
Wallohu ’alam Bi showab.......

Al Faqir
Abi Fakhri Habbibul Haq
Jumat, 11 Juli 2008

Kritik dan Saran alamatkan ke :
www.dimasjayadinekat@rocketmail.com

0 komentar:

Posting Komentar